Wawancara adalah tanya jawab untuk memperoleh
informasi atau keterangan akan suatu hal. Dan wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang diperoleh secara langsung antara pewawancara dengan
narasumber.Sebagai sebuah data, informasi yang diperoleh dari hasil wawancara
harus diubah menjadi laporan tertulis.Laporan tertulis hasil wawancara berupa
laporan tulisan jurnalistik (berita) atau data dalam bentuk ringkasan.
Dalam wawancara, wartawan bertanya
kepada narasumber, (saksi, pengamat, pihak berwenang, dan sebagainya) untuk
menggali atau mengumpulkan informasi, keterangan, fakta, atau data tentang
sebuah peristiwa atau masalah. Dan hasil wawancara disusun dalam bentuk karya
jurnalistik –berita, feature, atau artikel opini.
Ø Model Wawancara
Model wawancara ada dua macam di
antaranya:
1. Wawancara langsung –bertatap muka
(face to face) langsung dengan narasumber.
2. Wawancara tidak langsung
–misalnya melalui telefon, chating, dan email (wawancara tertulis).
Ø Jenis-JenisWawancara
Dalam literatur jurnalistik dikenal banyak jenis
wawancara, antara lain:
1. Wawancara berita (news-peg
interview), yaitu wawancara yang dilakukan untuk memperoleh keterangan,
konfirmasi, atau pandangan intervieweetentang suatu masalah atau
peristiwa.
2. Wawancara pribadi (personal
interview), yaitu wawancara untuk memperoleh data tentang diri-pribadi dan
pemikiran narasumber –disebut juga wawancara biografi.
3. Wawancara eksklusif (exclusive
interview), yaitu wawancara yang dilakukan secara khusus –tidak bersama
wartawan dari media lain.
4. Wawancara sambil lalu (casual
interview), yaitu wawancara “secara kebetulan”, tidak ada perjanjian dulu
dengan narasumber, misalnya mewawacarai seorang pejabat sebelum,
setelah, atau di tengah berlangsungnya sebuah acara.
5. Wawancara jalanan (man-in-the
street interview) –disebut pula “wawancara on the spot”– yaitu
wawancara di tempat kejadian dengan berbagai narasumber, misalnya di lokasi
kebakaran.
6. Wawancara tertulis –dilakukan via
email atau bentuk komunikasi tertulis lainnya.
7. Wawancara “cegat pintu” (door
stop interview), yaitu wawancara dengan cara “mencegat” narasumber di
sebuah tempat, misal tersangka korupsi yang baru keluar dari ruang interogasi
KPK.
Ø Teknik-Teknik Wawancara
Para praktisi jurnalisme (wartawan)
umumnya sependapat, tidak ada kiat mutlak wawancara jurnalistik. Setiap
wartawan emiliki trik atau cara tersendiri guna menemui dan memancing
narasumber untuk berbicara.
· Namun demikian, secara umum teknik
wawancara meliputi tiga tahap, yaitu:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pasca-Wawancara
Ø Tahap Persiapan Wawancara
1. Menentukan topik atau masalah
2. Memahami masalah yang ditanyakan
– wawancara yang baik tidak berangkat dengan kepala kosong.
3. Menyiapkan pertanyaan.
4. Menentukan narasumber
5. Membuat janji –menghubungi
narasumber atau “mengintai” narasumber agar bisa ditemui.
Ø Pelaksanaan Wawancara
1. Datang tepat waktu –jika ada
kesepakatan dengan narasumber.
2. Perhatikan penampilan –sopan,
rapi, atau sesuaikan dengan suasana.
3. Kenalkan diri –jika perlu
tunjukkan ID/Press Card.
4. Kemukakan maksud kedatangan
–sekadar “basa-basi” dan menciptakan keakraban.
5. Awali dengan menanyakan biodata
narasumber, terutama nama (nama lengkap dan nama panggilan jika ada). Bila
perlu, minta narasumber menuliskan namanya sendiri agar tidak terjadi
kesalahan.
6. Pertanyaan
tidak bersifat “interogatif “ atau terkesan memojokkan.
7. Catat! Jangan terlalu
mengandalkan recorder.
8. Ajukan pertanyaan secara ringkas.
9. Hindari pertanyaan “yes-no
question” –pertanyaan yang hanya butuh jawaban “ya” dan “tidak”.Gunakan
“mengapa” (why), bukan “apakah” (do you/are you).
Jawaban atas pertanyaan “Mengapa Anda mundur?” tentu akan lebih panjang
ketimbang pertanyaan “Apakah Anda mundur?”.
10. Hindari pertanyaan ganda! Satu
pertanyaan buat satu masalah.
11. Jadilah pendengar yang
baik.Ingat, tugas wartawan menggali informasi, bukan “menggurui” narasumber,
apalagi ingin “unjuk gigi” ingin terkesan lebih pintar atau lebih paham dari
narasumber.
Ø Merangkum Isi Pembicaraan dalam Wawancara
A. Menyusun Rangkuman Hasil Wawancara
Rangkuman adalah penyajian singkat dari suatu
pembicaraan atau tulisan. Adapaun langkah-langkah untuk membuat rangkuman hasil
wawancara, antara lain:
1. Menyimak seluruh pembicaraan dalam wawancara
2. Mencatat pokok-pokok pembicaraan
3. Merangkaikan pokok-pokok pembicaraan ke dalam
beberapa paragraph dengan memerhatikan keefektifan kalimat-kalimatnya.
Selain langkah-langkah, Anda juga harus memerhatikan
hal-hal penting dalam membuat rangkuman, diantaranya adalah:
1. Menggunakan kalimat efektif.
2. Jumlah paragraf dalam rangkuman
tergantung pada banyaknya pertanyaan dan jawaban kegiatan wawancara.
3. Mempertahankan susunan topik pembicaraan.
Beberapa hal yang dapat dijadikan panduan untuk
mengikuti wawancara, yaitu:
1. Mengidentifikasi topik wawancara
2. Memusatkan perhatian
3. Memerhatikan intonasi, mimik, dan bahasa tubuh
kedua belah pihak yang terlibat dalam wawancara
4. Menentukan inti dari setiap pertanyaan
5. Menentukan inti dari setiap jawaban
6. Merangkum inti pertanyaan dan jawaban sebuah
simpulan wawancara
B. Menjelaskan Hasil Wawancara tentang Tanggapan
Narasumber
Untuk mngetahui isi wawancara dapat dilakukan dengan
cara menyimak dan mencatat isi pokok pembicaraan dalam wawancara. Cara mencatat
isi pokok pembicaraan dalam wawancara sebagai berikut:
1. Menyimak wawancara dengan seksama dari awal hingga
akhir
2. Mencatat orang yang melakukan wawancara, baik
pewawancara maupun narasumber
3. Mencatat isi pokok pembicaraan dalam wawancara,
sebagai berikut:
a. Apa yang dibicarakan atau masalah yang dibahas
dalam wawancara
b.Tanggapan atau pendapat narasumber: berupa pendapat
tentang penyebab masalah dan penanggulangan masalah yang diabahas dalam
wawancara.
Teknik Reportase atau Teknik Meliput Berita
Teknik reportase atau teknik peliputan
berita merupakan hal mendasar yang perlu dikuasai para jurnalis. Namun,
membahas teknik reportase, berarti juga membahas bagaimana cara media bekerja,
sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.
Setiap
media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka
juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy).
Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda
antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional
setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang
dianutnya.
Perbedaan
visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan.
Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu
peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian Kompas
dan Republika terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing
kontroversi sengit di sejumlah kalangan belum lama ini.
Terakhir,
tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda.
Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak
langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak
diliput. Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari kalangan sosial-ekonomi
menengah ke atas. Majalah Femina
membidik pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau
bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum muda di
Jakarta.
Kelayakan
Berita
Berikut
ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua
media:
Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap
punya arti penting bagi mayoritas khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Tentu saja, media tidak akan rela memberikan space
atau durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga
bahan bakar minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya, jelas penting karena punya
dampak langsung pada kehidupan khalayak.
Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak
diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan tentang berita
"hangat," artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan
di masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut
berita "hangat," tetapi lebih pas disebut berita "basi."
Namun, pengertian "baru terjadi" di sini bisa berbeda, tergantung
jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi minggu lalu
masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah
"baru" berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan televisi,
berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna "baru" adalah
beberapa jam sebelumnya atau "seketika" (real time). Contohnya, siaran langsung
pertandingan sepakbola Piala Dunia.
Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya
unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa. Orang digigit anjing, itu biasa.
Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa. Contoh lain: Seorang
mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa.
Tetapi, jika seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak
pernah diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada
peristiwa yang unik dan tidak biasa.
Asas
Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat
dengan kita (khalayak media), lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang
terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta
tentu lebih perlu diberitakan ketimbang peristiwa yang sama tetapi terjadi di
Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa "kedekatan" itu tidak
harus berarti kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang
bersifat emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan
Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara emosional
tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.
Asas
Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita.
Sejumlah media pada Juni-Juli 2006 ini ramai memberitakan kasus perceraian
artis Tamara Bleszynski dan suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak
asuh atas anak antara keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan
ribuan pasangan lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun,
mengapa mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang
iklan sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal.
Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin
mengingatkan Anda pada gempa bumi. Benar. Magnitude
ini berarti "kekuatan" dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9
skala Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa
berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah
aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besar magnitude-nya ketimbang
demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta api yang menewaskan
200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada serempetan antara becak dan
angkot, yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet. Semakin besar
magnitude-nya,
semakin layak peristiwa itu diliput.
Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature.
Unsur
konflik.
Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-manusia,
juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis, Zinedine
Zidane, "menanduk" pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam
pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput. Mengapa?
Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya. Bahkan,
kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan antara
kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri.
Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend
atau menggejala di kalangan masyarakat, patut mendapat perhatian untuk diliput
media. Pengertian trend adalah sesuatu yang diikuti oleh orang banyak, bukan
satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku
kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan
sebagainya.
Dalam
memilih topik liputan, bisa saja tergabung beberapa kriteria kelayakan.
Misalnya, kasus mantan anggota The Beatles, John Lennon, yang pada 1980 tewas
ditembak di depan apartemennya di New York oleh Mark Chapman. Padahal beberapa
jam sebelumnya, Chapman sempat meminta tanda tangan Lennon. Chapman mengatakan,
ia mendengar "suara-suara" di telinganya yang menyuruhnya membunuh
Lennon.
Mari
kita lihat kriteria kelayakan berita ini. Pertama, Lennon adalah seorang
selebritas yang terkenal di seluruh dunia (unsur keterkenalan). Kedua,
penembakan terhadap seorang bintang oleh penggemarnya sendiri, jelas peristiwa
luar biasa dan jarang terjadi (unsur keunikan). Ketiga, meskipun peristiwa itu
terjadi di lokasi yang jauh dari Indonesia, para penggemar The Beatles di
Indonesia pasti merasakan kesedihan mendalam akibat tewasnya Lennon tersebut
(unsur kedekatan emosional). Dan seterusnya.
Proses
pembuatan berita
Proses
pembuatan berita pada prinsipnya tak banyak berbeda di semua media. Di media
yang sudah mapan, biasanya telah dibuat semacam prosedur operasional standar
(SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan.
Proses
pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan
jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin,
yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.
Dalam
rapat redaksi ini, para reporter, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan
usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai
sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran
pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan
pribadi si jurnalis, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya.
Sasaran Rapat Redaksi:
- Untuk mengkoordinasikan kebijakan redaksi dan liputan.
- Untuk menjaga kelancaran komunikasi antar staf redaksi (komunikasi antara reporter, juru kamera, staf riset, redaktur, dan sebagainya).
- Untuk memecahkan masalah yang timbul sedini mungkin (potensi hambatan teknis dalam peliputan, keterbatasan sarana/alat untuk peliputan, keamanan dalam peliputan, dan sebagainya)
- Untuk menghasilkan hasil liputan yang berkualitas.
Dari
rapat redaksi ini, ditentukan topik yang mau diliput, sekaligus ditunjuk
reporter (plusjuru kamera) yang harus meliputnya. Dalam pembahasan yang lebih
rinci, bisa dibahas juga angle (sudut pandang) yang dipilih dari topik liputan
bersangkutan, serta narasumber yang harus diwawancarai. Untuk kelengkapan data,
staf riset bisa diminta mencari data tambahan guna menyempurnakan hasil liputan
nantinya.
Sesudah
tugas dibagikan secara jelas dalam rapat redaksi, dan redaktur memberi brifing
pada reporter, berbekal informasi dan arahan tersebut, si reporter pun meluncur
ke lapangan. Dalam proses peliputan, bila ada masalah atau hambatan dalam
liputan di lapangan,si reporter dapat berkonsultasi langsung dengan redaktur
yang menugaskannya. Hambatan itu, misalnya, narasumber menolak diwawancarai,
atau peristiwa yang diliput ternyata tidak seperti yang dibayangkan.
Setelah
selesai meliput, si reporter kembali ke kantor, dan melaporkan hasil liputannya
kepada redaktur yang memberi penugasan. Sang redaktur lalu membuat penilaian,
apakah hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya
ditetapkan dalam rapat redaksi. Apakah ada hal-hal yang baru, yang mungkin
lebih menarik diangkat dalam penulisan. Atau, sebaliknya, hasil liputan
ternyata justru biasa saja, tidak sehebat atau sedramatis yang diharapkan.
Redaktur
juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh si reporter. Apakah
hasil liputan sudah lengkap? Redaktur juga mempertimbangkan asas keberimbangan
dan proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Misalnya, apakah jumlah narasumber
yang diwawancarai sudah cukup? Apakah narasumber yang diwawancarai itu sudah
mewakili berbagai kepentingan yang terlibat?
Berdasarkan
berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan
ditempatkan. Di sejumlah media, ada rapat khusus (kadang-kadang disebut rapat budgeting, meski ini tidak
ada hubungannya dengan uang) untuk membahas penempatan berita. Namun, dalam
rapat ini, reporter tidak ikut serta karena sudah diwakili oleh redakturnya. Di
rapat ini dibahas, apakah hasil liputan itu layak untuk berita utama di halaman
pertama, atau sekadar layak untuk dimuat pendek di halaman dalam, atau justru
tidak layak dimuat sama sekali.
Sesudah
jelas, berita itu akan dimuat di halaman mana, seberapa panjangnya, serta
penekanan pada aspek yang mana, si reporter disuruh menuliskannya. Hasil
tulisan diserahkan kepada redaktur terkait, untuk disunting dari segi bahasa
dan isinya. Sebelum berita ini dimuat, kadang-kadang harus melalui proses
penyuntingan bahasa oleh editor atau penyunting yang khusus memeriksa gaya
bahasa. Jika isi berita itu dianggap layak jadi berita utama, biasanya redaktur
pelaksana atau pemimpin redaksi juga bisa ikut terlibat.
Kemudian,
berita pun dimuat. Demikianlah proses pembuatan berita pada umumnya di media
cetak. Khusus untuk media televisi (audio-visual), faktor ketersediaan gambar
ikut berpengaruh, bahkan sangat berpengaruh, mengenai apakah suatu item berita
akan ditayangkan atau tidak. Kalaupun ditayangkan, format penayangannya juga
banyak tergantung pada ketersediaan gambar.
Menggali
Informasi
Tugas
seorang reporter pada dasarnya adalah mengumpulkan informasi, yang membantu
publik untuk memahami peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Penggalian informasi ini membawa sang reporter untuk melalui tiga lapisan atau
tahapan peliputan:
Lapisan
pertama, adalah
fakta-fakta permukaan. Seperti: siaran pers, konferensi pers, rekaman pidato,
dan sebagainya. Lapisan pertama ini adalah sumber bagi fakta-fakta, yang
digunakan pada sebagian besar berita. Informasi ini digali dari bahan yang
disediakan dan dikontrol oleh narasumber. Oleh karena itu, isinya mungkin masih
sangat sepihak. Jika reporter hanya mengandalkan informasi lapisan pertama,
perbedaan antara jurnalisme dan siaran pers humas menjadi sangat tipis.
Lapisan
kedua, adalah
upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini, sang reporter
melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-peristiwa
spontan, dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol
narasumber awal. Misalnya, ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan
begitu saja keterangan Humas PT. Lapindo Brantas, tetapi si reporter datang ke
lokasi meluapnya lumpur, dan mewawancarai langsung para warga korban lumpur di
Sidoarjo, Jawa Timur.
Lapisan
ketiga, adalah
interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter menguraikan
signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan
konsekuensinya. Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka
juga ingin tahu bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna
peristiwa itu bagi mereka, dan apa yang mungkin terjadi sesudahnya (dampak
susulan dari peristiwa tersebut).
Seorang
reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang
hanya mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha
memanipulasi atau memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan
narasumber adalah mengadakan media event, yakni suatu tindakan yang sengaja
dilakukan untuk menarik perhatian media.
Verifikasi,
pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang
serius bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang
disediakan narasumber.
*
Satrio Arismunandaradalah
Executive Producer di Trans TV. Sebelum bekerja di Trans TV, pernah menjadi
jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), dan Harian Media Indonesia (2000-2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar